UNS – Coronavirus disease (Covid-19) telah menjangkiti 159 negara di dunia, salah satunya adalah Indonesia. Sejak pertama kali kemunculannya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok pada 31 Desember 2019, Covid-19 menyebar begitu cepat hingga saat ini telah menginfeksi 244.525 orang di seluruh dunia.
Penyebaran Covid-19 yang begitu cepat mengakibatkan banyak orang panik. Kepanikan tersebut juga mulai melanda Indonesia sejak awal Februari lalu. Kepanikan tidak hanya disebabkan oleh mudahnya penularan Covid-19, namun juga disebabkan oleh ramainya pemberitaan seputar Covid-19 di berbagai media. Selain itu, respon warganet terhadap Covid-19 juga begitu cepat dengan cara mencari dan membagikan informasi secara aktif di media sosial (medsos) maupun pesan instan.
Mudahnya penyebaran informasi seputar Covid-19 ditanggapi oleh pakar komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Andre Rahmanto. Menurut Dr. Andre, banyaknya media yang memberitakan Covid-19 disebabkan oleh ketidakpuasan masyarakat dalam mencari informasi.
“Fenomena seputar Covid-19 memang membuat semua media berlomba memberitakannya, karena mereka berpikir pasti informasi ini akan dicari oleh masyarakat. Begitu juga masyarakat, seolah tidak puas mencari tahu dan membicarakan informasi ini karena berdampak langsung pada semua orang. Kepanikan itu disebabkan jika informasi yang diterima berbeda-beda dan tidak sinkron, jadi tidak ada pegangan yang pasti,” ujar Dr. Andre kepada uns.ac.id, Senin (23/3/2020).
Dr. Andre menyebut bahwa kepanikan yang terjadi di masyarakat turut disebabkan oleh banyaknya informasi yang diterima tanpa difilter. Selain itu, masyarakat juga cenderung mudah mempercayai informasi bohong yang disebarkan melalui media sosial (medsos) sehingga hal tersebut semakin menambah kepanikan.
“Dalam situasi normal saja banyak yang mudah percaya informasi bohong, apalagi saat situasi krisis. Psikologis masyarakat cenderung panik dan insecure. Sehat atau tidaknya (red: media sosial) tergantung kita para pengguna, karena jumlah informasi di media sosial memang tidak mungkin dibatasi. Masing-masing individu saja yang membatasi akses informasi sejauh yang kita butuhkan. Jangan terlalu larut dengan segala macam informasi tentang Covid-19,” lanjutnya.
Hal yang disampaikan oleh Dr. Andre tersebut senada dengan pernyataan Dosen Program Studi (Prodi) Psikologi Fakultas Kedokteran (FK) UNS, Rini Setyowati, M.Psi beberapa waktu yang lalu. Rini dalam wawancaranya kepada uns.ac.id mengatakan bila pemberitaan yang simpang siur atau kurang tepat dapat memicu rasa tertekan pada masyarakat yang mempengaruhi hormon stres.
Untuk mencegah terjadinya stres, Dr. Andre yang juga merupakan Kepala Prodi Magister Ilmu Komunikasi Pascasarjana UNS mengingatkan agar masyarakat membaca informasi atau berita seputar Covid-19 secara secukupnya dan sewajarnya dengan memperhatikan sumber informasi yang kredibel. Untuk memeriksa keakuratan sebuah informasi atau berita, Dr. Andre menghimbau masyarakat merujuk informasi pada media yang telah terverifikasi oleh Dewan Pers maupun memperbarui informasi Covid-19 pada situs resmi pemerintah, yaitu www.covid19.go.id.
Selain menyinggung maraknya berita bohong, Dr. Andre juga menyinggung soal kurangnya rasa sensitivitas media dalam memberitakan pasien positif Covid-19. Menurut Dr. Andre, beberapa pemberitaan melanggar hak individu, seperti privasi pasien.
“Media sebagian masih ada yang kurang sensitif soal privasi, mungkin maksudnya untuk memperjelas ke publik tapi justru melanggar hak individu. Informasi soal kesehatan itu rahasia pribadi, kecuali pasien mengijinkan untuk diungkap,” terang Dr. Andre.
Meski demikian, ia juga meminta agar media turut mendukung pencegahan penyebaran Covid-19 dengan menginformasikan peta persebaran infeksi Covid-19 agar masyarakat bisa waspada dan menjauhi lokasi yang terdampak.
Di akhir wawancaranya kepada uns.ac.id, Dr. Andre memberikan masukan dan himbauannya, baik kepada media maupun kepada masyarakat sebagai penerima informasi dalam menyikapi Covid-19. Salah satunya adalah himbauan kepada media untuk ikut membantu pemecahan masalah Covid-19.
“Pemberitaan tentang Covid-19 seharusnya tidak memojokkan atau melakukan stereotyping tertentu pada pasien, karena seperti penyakit pada umumnya, semua orang punya peluang untuk bisa terkena. Idealnya kalo saat ini informasi yang membantu ke arah penyelesaian masalah. Misalnya mengkampanyekan social distancing, Media perlu menyeimbangkan pemberitaan tentang perlunya kewaspadaan tetapi juga yang memberikan harapan. Masyarakat jangan terlalu larut dengan informasi tentang Covid-19 yang makin menambah stres,” pungkas Dr. Andre. Humas UNS/Yefta
The post Pakar Komunikasi UNS Tekankan Penyaringan Informasi oleh Masyarakat Berkaitan dengan COVID-19 appeared first on Universitas Sebelas Maret.