UNS – Merebaknya Covid-19 di Indonesia membuat masyarakat melakukan upaya preventif dengan menyediakan masker, hand sanitizer dan disinfektan. Permintaan yang besar dari masyarakat menjadikan barang-barang tersebut langka di pasar. Berkaitan dengan hand sanitizer dan disinfektan, fenomena yang terjadi di masyarakat, banyak membuat hand sanitizer dan disinfektan ‘oplosan’. Melihat fenomena yang terjadi di masyarakat luas tersebut, pakar Kimia UNS, Prof. Dr. Eddy Heraldy, M.Si, ikut memberikan komentarnya.
“Disinfektan adalah racun (toxic) yang efeknya bisa akut (cepat) dan dapat pula berefek kronis (lambat) Pada dasarnya, semua disinfektan berbahaya bagi manusia karena memang untuk membunuh kuman (bakteri, jamur dan virus)” terang Prof Eddy.
Saat ini banyak kita temui, masyarakat dan lembaga yang membuat hand sanitizer (HS) untuk upaya membantu atau swadaya sendiri sebagai upaya membersihkan tangan dalam periode waktu tertentu. Di saat kondisi seperti ini sebenarnya membuat HS tidak masalah asal saja formula dan senyawa yang digunakan adalah aman sesuai dengan rekomendasi dari WHO.
Hand Sanitizer yang direkomendasikan WHO harus mengandung bahan dasar etil alcohol (C2H5OH) dengan konsentrasi akhirnya adalah 80% v/v atau kalau dengan isopropyl alkohol (2-propanol) dengan konsentrasi akhirnya adalah 75% v/v; baru kemudian konsentrasi akhir gliserol 1,45% v/v; dan hydrogen peroksida (H2O2) 0,125% v/v.
Prof. Eddy tidak menyarankan pembuatan HS dari bahan seadanya. “Bahan utama HS itu adalah alcohol atau isopropyl alkohol. Sekali lagi alkohol, bukan ciu (kadar alkoholnya masih rendah) apalagi methanol yang lebih berbahaya. Sebab, methanol kalau teroksidasi akan menjadi formaldehid (formalin) yang kita kenal sebagai pengawet mayat, bukan untuk pengawet makanan. Dengan alkohol yang 40% saja dari minuman keras yang paling mahal sekalipun, masih tidak disarankan untuk pembuatan HS,” jelas Prof. Eddy. “Bisa juga menggunakan daun sirih yang sudah sangat terkenal sebagai disinfektan alami, namun kurang praktis. Kalau tidak ada HS, daripada susah payah membuatnya, sebaiknya cuci tangan saja dengan sabun mandi, atau sabun cuci minimal 20 detik dengan air mengalir, maka virus akan hilang”ujarnya.
Untuk komposisi yang aman, Prof Eddy menjelaskan sebaiknya sesuai dengan rekomendasi badan yang memiliki otoritas seperti WHO dan BP POM. Misal untuk membuat HS sebanyak 1L, bahan yang digunakan adalah alkohol (etanol) 96% v/v sebanyak 833,33 mL. atau isopropyl alcohol 99,8% v/v sebanyak 751,5 mL; H2O2 3% sebanyak 41,7 mL; Gliserol 98%, sebanyak 14,5 mL; kemudian ditambah air akuades demin atau air yang telah didihkan (steril) sampai tepat di tanda dalam labu takar 1L.
Di sisi lain, banyaknya penyemprotan disinfektan di masyarakat diapresiasi oleh Prof. Eddy. Hal tersebut sebagai upaya mandiri masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungannya asalkan dengan menggunakan disinfektan yang disarankan, dengan cara yang benar dan sasarannya juga benar.
“Saya tidak mengira secepat ini kreativitas masyarakat dalam melakukan proses disinfeksi sendiri. Mungkin karena panik, akhirnya banyak dilakukan penyemprotan mandiri yang banyak kita lihat dan saksikan. Dampak positifnya, ya lingkungan rumah, tempat ibadah, dan lainnya semakin bersih. Dampak negatifnya, banyak menggunakan disinfektan yang mungkin berbahaya serta tidak sesuai dengan dosis sehingga berbahaya bagi manusia dan makhluk hidup lainnya apalagi tanpa menggunakan alat pelindung diri (APD),” tambah Prof. Eddy.
Jika menggunakan metode penyemprotan dengan bilik (chamber) harus menggunakan disinfektan yang aman bagi manusia meski pada dasarnya, disinfektan ini ditujukan untuk membunah virus. Namun seandainya terpaksa sekali, dalam penerapannya pun harus menggunakan disinfektan yang direkomendasikan otoritas kesehatan dengan konsentrasi yang diizinkan.
“Misal kita gunakan ozon, ya konsentrasi ozonnya tidak boleh lebih dari 0,3 ppm yang dipaparkan selama 15 menit atau konsentrasi sebesar 0,06 ppm selama 8 jam perhari. Sanggupkah kita mengadakan ozon? dan apakah efektif membunuh virus untuk paparan hanya 30 detik misalnya” imbuhnya.
Kembali kepada fungsi disinfektan yang merupakan bahan kimia untuk mencegah terjadinya infeksi atau pencemaran oleh jasad renik (virus, bakteri, jamur) atau sering orang bilang sebagai obat untuk membasmi kuman, jika dikenakan kepada manusia ya manusianya itu harus menggunakan APD paling tidak google (kacamata), pelindung muka dan masker.
“Dalam SE dari Kementerian Kesehatan RI tentang Penggunaan Bilik Disinfektan juga sudah dijelaskan. Jadi sangat tidak pas kalau disinfektan disemprotkan langsung kepada manusia tanpa menggunakan APD yang memadai” tambah Prof. Eddy.
Pemerintah juga segera memberikan edukasi yang cepat dan tepat bila ada hal yang tidak pas di masyarakat dalam menggunakan bahan B3. Upaya tersebut bisa dilakukan dengan menggandeng universitas atau badan yang memiliki otoritas untuk ini.
“Dalam menghadapi kondisi seperti sekarang ini terkait dengan Covid-19 ‘Jangan lebay, tapi tidak juga abai’. Tetap berhati-hati dan waspada dengan disinfektan.”, Pungkas Prof Eddy. Humas UNS
The post Pakar Kimia UNS: Hand Sanitizer & Disinfektan Oplosan Berbahaya bagi Manusia appeared first on Universitas Sebelas Maret.