UNS — Memasuki seri ke-9, Diskusi Online Pusat Studi Bencana (PSB) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta kali ini mengangkat tema “Kearifan Lokal dalam Adaptasi dan Mitigasi Bencana”. Kegiatan berlangsung secara daring melalui Zoom Cloud Meeting dan diikuti 277 peserta meliputi mahasiswa, dosen, pusat studi bencana, badan penanggulangan bencana daerah, serta instansi dan perguruan tinggi lainnya.
Diskusi online kali ini menghadirkan Dr. Imam Hilman, S.Pd, M.Pd. (Pendidikan Geografi Universitas Siliwangi) serta Dr. Yasin Yusup, S.Si., M.Si. (Pakar PSB LPPM UNS). Kegiatan yang dimoderatori Seno Budhi Ajar, S.Pd., M.Si selaku Staf PSB LPPM UNS ini memberikan materi yang menarik dari setiap narasumber.
Dr. Imam Hilman, S.Pd., M.Pd., mengawali diskusi dengan membawakan materi bertema “Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Adaptasi dan Mitigasi Bencana”. Dalam penjelasannya, adaptasi dan mitigasi bencana merupakan sebuah interaksi antara kearifan lokal dan adat masyarakat suatu wilayah. Kearifan lokal dan adat masyarakat mengenai adaptasi dan mitigasi bencana muncul berdasarkan karena pengalaman-pengalaman yang telah dilalui oleh masyarakat. Dari pengalaman masyarakat mengenai peristiwa bencana kemudian muncul proses adaptasi dalam menghadapi bencana.
Dr. Imam Hilman juga menyampaikan beberapa contoh kearifan lokal suatu wilayah mengenai bentuk adaptasi masyarakat terhadap suatu bencana salah satunya adalah kearifan lokal di Sunda. Hal ini terbukti dengan adanya pepatah masyarakat Sunda seperti “Gunung teu meunang dilebur, sagara teu meunang diruksak, buyut teu meunang dirempak” yang artinya jangan merusak alam seperti gunung, kita harus bisa selaras dengan alam. Filosofi masyarakat Sunda yang merupakan bukti bahwa sejak dulu sudah menunjukkan adaptasi masyarakat ada dalam pepatah “Alam jeung lingkungan leuwung lain tumpakeun tapi leuweung rawateun rohmateun” yang artinya alam dan lingkungan hutan bukan untuk dihuni melainkan hutan yang harus dijaga.

Dr. Iman Hilman menyampaikan salah satu hutan adat di Ciamis merupakan salah satu yang masih terjaga karena hutan ini memiliki peraturan yang ketat. Dalam hutan ini memiliki slogan “Leuwung Ruksak caik beak manusia balangsak”. Berbagai cara dan bentuk sebagai penghormatan masyarakat adat kita terhadap hutan. Selain itu, di Jawa Barat terdapat Kampung Naga mengacu pada kondisi morfologi gawir (tebing curam). Kampung ini memiliki konsep pola ruang yang baik. Sistem penyaluran air yang baik dan dijaga oleh mayarakat adat. Masyarakat kampung naga tidak percaya dengan adanya bencana kecuali yang disebabkan manusia.
Di akhir materi Dr. Iman Hilman, S.Pd., M.Pd menyampaikan bahwa kita harus belajar kepada masyarakat adat, sebab urusan kearifan itu hal yang positif namun aturan adat tidak sesuai dengan pemerintah atau masyarakat umum sehingga harus ada kolaborasi local wisdom dengan hukum yang berlaku.
“Jadi kita harus belajar dari masyarakat adat. Sehingga apapun yang masyarakat adat ada bisa kita jadikan suri tauladan, hal yang baik bisa kita adopsi. Hal yang tidak baik dihindari,” tutur Dr. Imam Hilman.
Memasuki sesi pemateri kedua oleh Dr. Yasin Yusup, S.Si., M,.Si mengenai “Empan papan – Empan Wektu: Mekanisme Adaptasi Hidup Selaras Bersama Ancaman dan Berkah”. Di Indonesia, bahaya mengacu pada kerawanan bencana. Risiko lebih dipengaruhi oleh kontruksi sosial, tidak hanya pada kontruksi alamiah. Mengutip dari Gilliard, local wisdom merupakan sebagai kajian penilaian risiko. Culture kadang bertentangan dengan religiusitas karena banyak yang dianggap musyrik. Kadang local wisdom membantu mitigasi namun juga dapat sebaliknya.

Dr. Yasin Yusup menjadikan bencana letusan gunung merapi salah satu objek kajian. Budaya dapat dimasukan dalam peta risiko bencana Gunung Merapi berdasarkan perbedaan setiap wilayah. Intensitas local wisdom dipetakan menjadi peta kerentanan sosial budaya. Pada zaman sekarang penduduk semakin mendekati bahaya letusan Gunung Merapi. Salah satu tokoh yang dijadikan sebagai simbol adalah Mbah Marijan. Adanya kepercayaan “rasa aman” membuat masyarakat yang hidup satu wilayah dengan Mbah Marijan tidak mau pergi dari daerahnya. “Rasa aman” muncul akibat adanya berbagai peristiwa terjadi dimana membuat masyarakat wilayah Mbah Marijan lebih beruntung dari wilayah di sekitar Gunung Merapi lainnya.
“Saat aliran piroklastik menuruni lereng, letusan mewujud sebagai ancaman (atau) momen bahaya. Bergitu terendapkan berubah menjadi sumber daya tambang pasir dan batu (atau) momen berkah, orang boleh kembali memanfaatkan,” jelas Dr. Yasin Yusup.
Di akhir sesi Dr. Yasin Yusup menyampaikan beberapa kutipan dari berbagai tokoh masyarakat di sekitar Gunung Merapi seperti “Hidup selaras dengan acaman” diterapkan pada desa Glagah Harjo serta kutipan “Waktunya menyingkir ya menyingkir dan waktunya kembali ya kembali tidak perlu meninggalkan pertanian”. Humas UNS
Reporter: Rangga Pangestu Adji
Editor: Dwi Hastuti
The post Diskusi Online Seri ke-9 PSB UNS Bahas Interaksi Masyarakat Adat dengan Bencana Indonesia appeared first on Universitas Sebelas Maret.