UNS — Constitutional Law Community (CLC) Fakultas Hukum (FH) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menggelar Diskusi Tokoh Hukum bertajuk “Masa Depan Pemberantasan Korupsi Pascarevisi UU KPK”, Sabtu (10/7/2021), melalui Zoom Cloud Meeting.
CLC FH UNS mengundang sejumlah pembicara dalam diskusi tersebut. Seperti, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, S.H, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhan, S.H, pakar Hukum Tata Negara (HTN) FH UNS, Dr. Agus Riwanto, dan peneliti Mahkamah Konstitusi (MK), Dr. Irfan Nur Rachman.
Dr. Irfan Nur Rachman sebagai pembicara pertama menyinggung soal maraknya kasus korupsi di negeri ini yang terus menjadi sorotan media. Ia mengatakan, berdasar data yang diungkap Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri pada bulan Mei tahun ini, tercatat ada 1.146 kasus korupsi yang terjadi dari tahun 2004-2021.
“Rincian kasus sebanyak 397 pejabat politik yang terjerat kasus korupsi, korupsi yang dilakukan oleh anggota DPR/ DPRD sebanyak 257 kasus, korupsi yang dilakukan walikota/bupati sebanyak 119 kasus, dan korupsi yang dilakukan oleh gubernur sebanyak 21 kasus,” ujar Dr. Irfan Nur Rachman.
Ia menyampaikan, kasus korupsi di Indonesia didominasi oleh praktik rasuah saat pengadaan anggaran barang dan jasa. Untuk mencegah kemungkinan tersebut, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah (LKPP) telah merancang membuat aplikasi belanja pengadaan.
Di hadapan 300-an peserta diskusi, Dr. Irfan Nur Rachman menghubungkan maraknya kasus korupsi di Indonesia dengan polemik kelembagaan di internal KPK yang akhir-akhir ini merebak ke publik.
Sebagai peneliti MK, ia menilai hal tersebut wajar-wajar saja terjadi di sebuah negara demokrasi. Sebab, setiap orang bebas berpendapat sesuai dengan pikiran dan hati nuraninya sepanjang pendapatnya disampaikan dalam koridor hukum dan tidak boleh ada yang melarang.
Hanya saja dalam kerangka bernegara, berlaku prinsip checks and balances antarcabang kekuasaan negara untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, setiap cabang kekuasaan negara harus tunduk pada prinsip konstitusi.
“Dalam kerangka inilah sejatinya revisi UU KPK yang dibuat oleh DPR memiliki fungsi legislasi, pengawasan, dan budgeting sebagai ikhtiar untuk memperbaiki dan menyempurnakan desain pemberantasan korupsi dan penguatan kelembagaan KPK,” terangnya.
Ia menambahkan, apabila masih terjadi persoalan mengenai apakah UU KPK yang dibuat bertentangan atau tidak dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi, biarlah MK yang menilai sebagai wujud dan manifestasi sistem checks and balances guna menjaga supremasi konstitusi.

Menyambung pemaparan Dr. Irfan Nur Rachman, Asfinawati, S.H dalam materinya berjudul “Masa Depan KPK-Pemberantasan Korupsi?”, membahas soal urgensi KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di tanah air.
Asfinawati, S.H mengatakan, pada UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi –sebelum direvisi oleh DPR tahun 2019 lalu- menuliskan sejumlah dasar pembentukan KPK.
Pada bagian menimbang poin B UU No. 30 Tahun 2002 disebutkan bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi pada masa itu dinilai belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Hal itu mengakibatkan bencana, tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional, tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.
“Di sini kita bisa melihat bahwa dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa,” ucapnya.
Sehingga, diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang nantinya menjadi KPK.
Pembicara lainnya, Kurnia Ramadhan, S.H dalam materinya berjudul “Merefleksikan Kekeliruan Arah Politik Hukum Pemberantasan Korupsi”, menyinggung soal hukuman penjara bagi koruptor yang dinilai masih meringankan.
Seperti yang baru-baru ini terjadi kala jaksa KPK menuntut mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, dengan hukuman penjara selama 5 tahun dengan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan.
Edhy Prabowo yang tersandung kasus suap izin ekspor benih lobster, juga dituntut oleh jaksa KPK untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 9,6 miliar dan US$ 77 ribu.
“Belum lagi kalau kita melihat kasus jaksa Pinangki yang divonis 10 tahun penjara, kemudian disunat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memotong hukuman Pinangki Sirna Malasari dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara,” kata Kurnia Ramadhan, S.H.
Dari data itu, Kurnia Ramadhan, S.H mengatakan, negara masih mengalami kerugian akibat adanya kasus korupsi yang dilakukan pejabat tinggi negara, aparat penegak hukum, maupun pejabat tinggi daerah.
“Kita juga ketahui bersama denda maksimal hanya dijatuhkan kepada enam orang terdakwa dari total 1.298 orang,” pungkasnya. Humas UNS
Reporter: Yefta Christopherus AS
Editor: Dwi Hastuti
The post CLC FH UNS Gelar Diskusi Tokoh Hukum Bahas Arah Penegakan Korupsi di Indonesia appeared first on Universitas Sebelas Maret.