UNS – Era new normal atau kenormalan baru menjadi tantangan selanjutnya yang akan mengubah beragam tatanan di masyarakat dan mengharuskan adanya strategi yang matang. Tidak terkecuali dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang melibatkan partisipasi banyak pihak dan membutuhkan peninjauan lapangan.
Oleh karenanya, bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada Jumat (5/6/2020), Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menggelar webinar nasional bertajuk ‘Penyusunan dan Penilaian Dokumen Amdal pada Era New Normal’.
Sejumlah 1.168 peserta dari berbagai daerah di Indonesia mengikuti webinar tersebut melalui aplikasi Zoom Cloud Meeting dan siaran langsung Kanal Youtube PPLH UNS. Baik dari lingkup perguruan tinggi, instansi pemerintahan, perusahaan, maupun masyarakat umum.
Bertindak sebagai pemateri pertama, Ir. Ary Sudijanto, MSE, Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjelaskan mekanisme penyusunan Amdal di era new normal akan mengkombinasikan antara sistem daring dan luring untuk tetap menerapkan protokol kesehatan Covid-19. Diantaranya adalah konsultasi publik secara daring dengan sistem komunikasi dua arah, penilaian dokumen Amdal yang sebagian dapat dilakukan melalui aplikasi pertemuan daring, dan penyusunan dokumen Amdal sebagian dapat dilakukan melalui platform amdal.net yang sedang dikembangkan oleh pusat.
” Nantinya amdal.net ini tentu akan kami aplikasikan ke daerah untuk uji coba. Karena ini dirancang sebagai sistem nasional,” jelasnya.
Ary menambahkan, kebijakan terkait mekanisme penyusunan Amdal di daerah pada era new normal ini, lebih lanjut akan diserahkan kepada kepala daerah masing-masing sesuai dengan situasi setempat. Hal ini tidak terlepas dari bervariasinya keputusan setiap daerah mengenai waktu penerapan new normal dengan mempertimbangkan angka penularan di suatu daerah.
“ New normal dilakukan secara bertahap, tidak serentak. Penerapan pembatasan sosial di setiap daerah itu berbeda. Kalau kita buat sama, menjadi tidak memungkinkan. Maka, dipersilakan untuk daerah membuat kebijakannya masing-masing. Komisi Penilai Amdal (KPA) juga menyusun peraturan sesuai daerahnya,” jelasnya.
Ary pun memaparkan, dengan adanya kombinasi sistem daring dan luring, terdapat tantangan yang menurutnya harus diperhatikan dan diantisipasi dengan strategi matang.
Hal pertama yang ia tegaskan adalah perlunya telaah secara hukum atau arahan hukum yang baru terhadap keabsahan modifikasi proses yang dilakukan apabila akan diterapkan dalam kondisi new normal ini. Menurutnya, para penyusun Amdal tidak dapat lagi menggunakan kebijakan sebelum new normal, yakni Surat Dirjen PTKL Nomot SE.7/PKTL/PDLUK/PLA.4/4/2020 yang mengatur Proses Penilaian Amdal dan Perdirjen PKTL Nomor P.5/PKTl/PDLUK/OTL.0/5/2020 tentang Tata Laksana Penilaian oleh KPA dalam rangka pencegahan Covid-19.
Kemudian yang kedua, perlu adanya kajian kebijakan terhadap efektivitas dan akuntabilitas pelaksanaan konsultasi publik media daring dalam menjaring Saran Pendapat dan Tanggapan (SPT) masyarakat. Poin kedua ini juga selaras dengan poin ketiga, yaitu perlunya evaluasi kesiapan infrastruktur dalam proses penilaian secara daring. Hal ini dilakukan agar seluruh masyarakat dapat turut mengakses sebagai penilai amdal dan untuk memastikan legalitasnya.
“Keterlibatan masyarakat inilah yang menjadi tantangan besar bagi kita. Bukan hanya saat konsultasi publik, tapi juga representasinya sebagai anggota KPA. Kalau yg melibatkan pakar atau instansi sudah baik. Akan tetapi, komunikasi dengan masyarakat via daring masih perlu pengembangan infrastruktur internetnya. Maka saat kembali ke normal, kita harus menilai efektivitas pelaksanaan dan menyusun mekanisme dari pengalaman saat pembatasan sosial,” imbuh Ary.
Hal senada disampaikan oleh Widi Hartanto, ST., MT., Kabid Penataan, Pengkajian Dampak dan Pengembangan Kapasitas LH Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Jawa Tengah. Ia menyatakan bahwa akses internet yang tidak stabil menjadi kendala utama. Masyarakat yang belum dekat dengan sistem daring inilah yang harus menjadi catatan penting karena saran, pendapat dan tanggapan dari masyarakat adalah satu kerangka acuan pokok yang harus dipenuhi.
“Harus disampaikan juga rencana kegiatan dan dampak lingkungan yang ada. Ini berkaitan dengan metodologi dan kerangka acuan. Selama pandemi ini, penilaian kerangka acuan dan pengambilan sampel di lapangan memang menjadi masalah utama. Ada mobilitas yang dibatasi meskipun sudah menjaga jarak,” ujar Widy.
Oleh karena penyusunan Amdal memang harus melibatkan banyak orang, Ary dan Widy pun sama-sama menegaskan agar pemrakarsa Amdal dapat memfasilitasi dan memastikan masyarakat mempunyai akses. Misalkan dengan penyediaan genset di daerah yang belum dialiri listrik, penyediaan akses internet, pengadaan teleconference di 1—4 lokasi dengan 4—7 orang setiap lokasi guna menerapkan protokol kesehatan, ataupun penyediaan operator dari perwakilan pemrakarsa yang paham sistem daring.
Pada kesempatan tersebut, hadir pula Prof. Okid Parama Astirin selaku Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UNS. Dalam sambutannya, Prof. Okid menuturkan bahwa adanya pembahasan semacam ini dapat memberikan gambaran yang lebih jelas kepada para penyusun Amdal dan pihak yang terkait. Walaupun,
beragam rencana tersebut tentu akan masih terus dievaluasi dan mengalami pengembangan.
“Kita dapat mengetahui strategi apa yang harus dilakukan. Dan ada transfer ilmu yang semoga bermanfaat bagi kita semua,” tutunya.Humas UNS/Yefta
The post Tantangan Amdal di Era New Normal appeared first on Universitas Sebelas Maret.